Postingan

Menampilkan postingan dari 2004

Transisi

Kurang dari sepuluh pekan lagi waktu untuk kembali ke indonesia. Suasana berpisah mulai terasa. Barang-barang mulai dikemasi. Lima tahun tinggal di sini, kalau dimisalkan sebuah pohon, akarnya sudah tumbuh cukup kuat. Untuk mencerabut diri dari tempat itu perlu tenaga cukup besar, tapi yang tertinggal hanya terpaksa ditinggal, akar-akar halus yang sudah menyusup terlalu kuat: perasaan yang tertinggal, kenangan yang akan dibawa dan gambaran yang akan terus melekat dalam pikiran. Menyusun satu persatu buku-buku ke dalam kardus tadi pagi, tak terelakkan menyelinap sedikit rasa sedih di hati akan mengakhiri sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Semua yang berawal akan berakhir, memang. Tapi menyongsong sebuah akhir, bagaimana pun tetap terasa menyedihkan. Menyongsong sebuah kebaruan tetap terasa gamang, karena kita tidak tahu apa yang menanti di depan. Berkemas membuat kita bisa melihat betapa hidup sering dilalui dengan menunda-nunda pekerjaan dan menumpuk barang yang tak benar-benar perl

Novel tentang Kerja

Lima novel tentang kerja pilihan Ian McEwan : Rabbit at Rest by John Updike The car salesman. The longeurs and the accountancy deceits are beautifully wrought. Rabbit's shafting by a Toyota rep, Mr. Shimada, defines a time in the 1980s of American industrial nervousness. Towards the End of the Morning by Michael Frayn The journalist. Frayn is perhaps England's greatest comic writer. Grubby, compromised hacks haven't been done better since Evelyn Waugh's "Scoop." (The book was also published with the title "Against Entropy.") The Black Cloud by Fred Hoyle The astronomer. A huge entity hovering near earth turns out to be a colossal intelligence. It's completely unimpressed by our civilization; some Beethoven sonatas hold its attention for a while. Body and Soul by Frank Conroy The musician. A wonderful evocation of a young man's mastery of the technique of the classical piano. Conroy is a fine jazz player, with a highly regarded "walking&q

Mizutani-san 水谷 澄子

Ada rasa sepi menyelinap ketika pagi ini saya menengok ke apartemen tetangga di sebelah kanan. Jendela kacanya yang tak lagi bergorden, menampakkan kamar kosong dengan dinding polos. Halaman belakangnya yang dulu penuh tanaman kini hanya tanah coklat. Tak ada lagi ajisai putih yang cantik di pojok kirinya. Tak ada lagi rumpun-rumpun bunga dan beragam tumbuhan yang sering disirami dan disianginya. Semua sudah dibersihkan, dikemas, dan dibagikan ke para peminat karena penghuninya mesti pindah rumah dua hari yang lalu. Kalau sekadar tetangga biasa saya pasti tidak akan merasakan kesan sepi itu. Penghuni apartemen ini sering berganti, selalu datang dan pergi, terutama yang di lantai dua. Meski tinggal dalam satu bangunan, kami nyaris tidak saling mengenal. Hanya nama di kotak pos yang membuat kami bisa menyebut siapa yang tinggal di kamar nomor berapa. Tapi tetangga yang satu ini berbeda. Beliau seorang nenek yang berusia mendekati delapan puluh tahun. Sejak pertama kami tinggal di apartem

Scientific fraud

Sekarang ada lagi yang menarik saya: Scientific fraud, atau misconduct in science. Saya pertama digiring ke arah ini ketika mencari tentang "novel about work" di Google. Saya sedang teringat pada novel Amsterdam karya Ian McEwan. Dalam novel ini McEwan menggambarkan dua orang tokoh yang berprofesi sebagai jurnalis dan satunya sebagai pencipta lagu. Novel yang bercerita seputar dunia kerja tidak terlalu banyak, novel McEwan ini salah satu yang mengesankan. Saya ingin cari novel lain seperti ini. Dan, seperti biasa, pencarian di Google sering membawa kita melebar dan menjauh dari titik berangkat kita, membuat kita lupa apa yang awalnya kita inginkan. Saya akhirnya dipertemukan dengan novel Cantor's Dilemma karya Carl Djerassi. Carl Djerassi adalah profesor emeritus untuk bidang kimia di Stanford University. Sejak 15 tahun yang lalu Djerassi beralih menjadi novelis. Cantor's Dilemma adalah novel pertamanya. Kekhasan novel dia adalah selalu berkisar pada dunia sains--sesu

i-Rambling

Minggu yang lalu ada berita tentang seorang ayah yang dihukum penjara sebelas tahun karena menendang anaknya yang berusia lima tahun hingga meninggal. Kejadiannya di Chiba tahun 2003. Minggu ini ada berita senada tentang pasangan suami istri Yokohama yang ditahan karena memukul bayi usia tiga bulan mereka sampai mati . Mereka sudah melakukan itu sejak bulan Maret lalu ketika bayinya baru lahir. Mereka bilang, alasannya karena bayi itu tidak mau berhenti menangis. Hati saya menangis. Tidak habis pikir dengan perilaku orangtua seperti ini. Apa yang mereka harapkan akan dilakukan seorang bayi; terus menerus tertawa, tersenyum, diam, dan tidak mau dengar suara tangisnya? Bayi yang tidak menangis?--- contradictio in terminis . Mengapa banyak sekali terjadi kasus penyiksaan anak sampai mati di negeri matahari terbit ini. Angka kelahiran di Jepang untuk tahun ini dilaporkan lebih rendah lagi dibanding tahun sebelumnya, 1,29%. Kalau bayi-bayi yang lahir itu pun pada dibunuhi seperti ini karena

i-Rambling

Peristiwa pembunuhan di Nagasaki tanggal 1 Juni yang lalu itu memang sangat tragis. Bukan hanya karena pelakunya adalah siswa kelas enam sekolah dasar yang berumur sebelas tahun dan korbannya adalah teman sekelasnya yang berusia dua belas tahun, tapi juga karena penyebabnya dipicu oleh chatting antara mereka di internet dan kejadiannya berlangsung di sekolah. Kedua anak perempuan itu berteman akrab, Mereka bersama dua anak lainnya punya semacam weblog yang diisi bersama dan sering berkirim instant message sejak empat bulan lalu. Sekitar pertengahan Mei si pelaku mengingatkan si korban agar berhenti meledek penampilan dan berat badannya ketika chatting. Tapi si korban tetap melakukannya. Empat hari sebelum peristiwa pembunuhan itu, si pelaku sudah berniat untuk melakukan pembunuhan

Gado-gado

Setiap hari kita didera oleh informasi baru yang diwakili oleh satu istilah. Kalau istilah itu menarik perhatian kita, kita akan menggali lagi lebih jauh mengenainya---kalau ada waktu. Saat ini ada tiga istilah yang sedang menarik perhatian saya: mind-mapping, homeschooling dan hypergraphia. Mind-mapping bukan istilah yang baru saya kenal. Saya pertama mendengarnya ketika bekerja di Mizan. Mas Hernowo sering menyebut metode ini sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan tulisan. Metode pemetaan pikiran ini dicetuskan oleh Tony Buzan . Gunanya adalah untuk memvisualisasi percabangan pikiran kita ketika mencoba untuk memahami sebuah subjek. Caranya sederhana saja. Siapkan sebuah kertas kosong, sebaiknya tanpa garis. Letakkan subjek yang jadi pokok persoalan di tengah kertas. Lingkari. Dari lingkaran tengah itu gambarkan cabang-cabang yang memuat semua apa yang kita asosiasikan dengan subjek itu. Cabang-cabang itu nanti bisa bercabang lagi, terus beranak pinak hingga kita sudah mengekspl

Murata-san

Salah satu tetangga saya seorang bapak tua yang tinggal sendirian di kamar apartemennya yang sempit. Saya kira dia kesepian. Jarang ada yang berkunjung kepadanya. Setiap hari kerjaannya adalah menonton televisi. Saya kira dia tidak benar-benar menonton televisi, tapi hanya menyalakannya, nyaris dua puluh empat jam, untuk mengusir sepi. Kalau kita tersentak tengah malam, kita bisa mendengar bisik-bisik suara televisi, atau kadang-kadang cukup keras juga. Siaran berita. Kita bisa tersenyum atau kesal mendengarnya. Tersenyum karena seolah-olah ada perkembangan berita teramat penting yang harus dia dengar tengah malam begini. Kesal, karena berisik mengganggu tidur nyenyak kita. Saya kira hidup di masa tua seperti yang dia jalani itu sangatlah membosankan. Dia sepertinya tidak punya sebuah hobi yang dapat mengisi hari-harinya. Dia tidak memelihara binatang. Dia tidak menanam bunga. Pernah seseorang menghadiahi satu pot bunga kepadanya di awal musim semi. Ketika baru ditanam, rumpun bunga be

Hanifa

Tadi malam Hanifa baru tidur jam dua pagi. Belakangan dia punya tekad kuat untuk menahan kantuknya. Walaupun matanya sudah mulai tertutup, dia tetap mengatakan belum mengantuk dan masih mau main lagi. Sepertinya dia takut untuk membiarkan diri jatuh tertidur. Setiap kali kantuknya datang, dia mengalihkannya ke bentuk lain, minta makan lagi, minta dibacakan buku lagi, mengajak main lagi, atau menangis. Menidurkannya jadi sebuah pekerjaan yang melelahkan, karena kita pun jadi mesti berperang melawan kantuk sendiri. Tadi malam dia baru tertidur setelah badannya benar-benar kehabisan tenaga, tak mampu lagi menahan dirinya untuk tetap terjaga. Tapi paginya kami semua terbangun pada jam yang biasa, termasuk Hanifa. Badan masih terasa lelah. Sore ini Hanifa tertidur. Rasyad juga. Kesempatan buat saya untuk beristirahat. Tapi baru saja saya akan membaringkan badan, Rasyad terbangun. Buyarlah seluruh harapan untuk sedikit bersantai dan menyelesaikan macam-macam pekerjaan yang selalu tak tertuna

Pemilu

Tentang pemilu yang baru berlalu ini. Saya nyaris tidak tahu sama sekali apa yang akan dilakukan sebagai pemilih, tidak pernah baca koran, tidak mengikuti perkembanagn berita seputar itu. Untung Eep mengirimkan tulisan Panduan Pemilihnya ke milis JIL. Saya baru dibikin mengerti oleh tulisan itu tentang sistem proporsional semi-terbuka yang sekarang digunakan di pemilu Indonesia. Saya baru tahu mengapa sebaiknya kita memilih tanda gambar dan nama caleg, bukan cuma tanda gambar partai saja. Selepas memilih di SRIT Tokyo, saya jadi gigih benar mengikuti perkembangan berita seputar pemilu. Malam itu saya mendengar hasil penghitungan suara di tempat saya memilih. Sampai pukul setengah dua belas saya bertahan mendengar siaran radio IPDF lewat MP3. Partai yang saya pilih itu menjadi peraih suara terbanyak di Tokyo. Selama hari-hari berikutnya hampir setiap jam saya mengecek berita di detik.com untuk tahu hasil perhitungan di tanah air maupun di negara-negara lain. Begitu getol, menggelikan ka

Tulip

Gambar
Pagi ini gerimis di Koganei. Karena hujannya tidak begitu besar, saya masih sempatkan untuk berolahraga jalan kaki. Setengah jam jalan kaki cepat lumayan dapat membakar lemak, mengeluarkan keringat meskipun udara terasa agak dingin. Sakura muda sepanjang Nogawa sudah mekar. Tahun lalu pohon-pohon itu belum banyak berbunga karena baru ditanam. Hanya beberapa kuntum ditengah dahan-dahan yang tandus. Tapi pagi ini kelihatan begitu cantik dan rimbun dengan kelopak-kelopak pink mudanya. Angin berembus perlahan, selembar kelopaknya gugur menempel di pagar hijau tua yang basah. Musim semi ini memang selalu mempesona. Sepanjang jalan saya melihat berbagai bunga baru mekar. Semua warna seperti berlomba muncul di awal musim yang mulai menghangat ini. Saya sengaja tidak membawa kamera pagi ini, ingin memperhatikan semuanya tanpa keinginan untuk merekamnya. Barangkali rekaman mata saya akan lebih berkesan daripada rekaman kamera. Tulip-tulip di halaman belakang telah mekar penuh. Tulip kuning, pin

Dua puisi

Sabtu lalu saya menghadiri workshop puisi FLP Jepang di Komaba. Saya tak pernah mencoba menulis puisi dan jarang sekali membaca puisi. Ada anggapan tak teruji bahwa puisi sulit dinikmati dan sulit untuk ditulis. Saya bukan pengapresiasi puisi yang baik.  Ketika ada sesi untuk berlatih kemarin, saya tidak mengambil kesempatan untuk mencoba menulis puisi, selain karena saya disibukkan dengan tangis Rasyad, juga karena ide yang tak kunjung ditangkap.  Saya merasa punya utang pada diri sendiri untuk mencipta puisi setelah repot-repot ikutan workshop itu.  Lewat tengah malam keesokan harinya, setelah Rasyad kembali tertidur sehabis diganti popoknya, saya tiba-tiba mendapat ide untuk menulis sebuah puisi, dan langsung saya catat saat itu juga. Inilah hasilnya, puisi saya yang pertama setelah bertahun-tahun:  Menyambut musim semi   Musim yang menggigilkan ini tampaknya akan segera berganti  Ketika kubuka jendela pagi, udara yang kuhirup dalam-dalam  membawakan harum bunga-bunga dan tanah basa

i-Rambling

Begitu banyak yang terjadi dalam satu bulan terakhir ini. Saya mencari-cari waktu untuk mencatatnya di sini, tapi tak kunjung berhasil mendapatkan sedikit waktu jenak itu. Akhirnya kesempatan itu datang hari ini, ketika Rasyad sudah berumur tiga mingguan (berita kelahirannya dan seluruh keriuhan di sekitarnya direkam di blog Hanifa dan Rasyad ). Udara mulai hangat, kemarin sampai 22 derajat, tapi hari ini turun lagi menjadi 10 C. Berdiri di luar, menghirup udara dalam-dalam, tercium aroma harum bunga-bunga. Tunas tulip di halaman belakang sudah tumbuh lebih dari lima centimeter di atas tanah. Tanda-tanda menjelang musim semi ada di mana-mana. Bunga ume sudah bermekaran di Koganei Koen, merah muda, putih, kuning. Siang ini saya bisa duduk di tenang di depan komputer, sambil menggendong Rasyad yang tidur gelisah. Hidup bersama seorang bayi lagi, saya merasa seperti mengulangi sebuah siklus. Menyusui lagi, bangun malam, mengganti popok, menggendong ke sana kemari. Bayi yang baru lahir it

Buku Lama

Gambar
Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta Apa yang akan kita lakukan dengan buku yang sudah dibaca? Pertanyaan itu menggelayuti saya dalam beberapa hari belakangan ketika mulai membereskan dan memilih koleksi buku yang akan saya bawa pulang ke Indonesia. Buku-buku itu seperti meninggalkan jejak sendiri. Setiap bertemu lagi dengan sebuah buku, saya jadi teringat apa yang paling mengesankan saya ketika membacanya, emosi apa yang pernah terbangkitkan dan peristiwa apa yang terjadi dalam masa saya membaca buku itu. Seperti melihat sebuah foto lama, saya diajak kembali masuk ke suasana yang terekam di sana, tapi lebih dari sekadar gambar dalam foto, memori itu membuat saya memetik lagi kalimat-kalimat indah dan kebijakan yang pernah menyentuh saya lewat pembacaannya. Lantas apa yang sebaiknya saya lakukan dengan buku-buku itu? Sebagai sebuah benda bervolume besar, buku secara fisik menimbulkan persoalan sendiri untuk dibawa ke mana-mana. Butuh biaya, tempat dan tenaga. Saya tidak tega untu

Menuai Apa yang Ditanam

Orang menuai apa yang dia tanam. Saya sering terpikirkan peribahasa itu belakangan ini. Saya melihat contohnya pada diri Mas Hernowo yang sekarang seperti sedang memetik apa yang dia tanam tujuh tahun yang lalu: virus menulis dan membaca. Benih itu menyebar ke lingkungan sekitarnya, lingkungan kerja, sekolah dan keluarganya, tapi tentunya paling kuat tertanam dalam dirinya.  Sekarang, hasilnya sudah terlihat. Mas Hernowo telah menghasilkan tujuh buku dalam kurun tiga tahun belakangan. Bulan ini beliau memulai sebuah kursus pelatihan menulis kilat, dan sepanjang waktu tujuh tahun itu dia berubah menjadi seorang pembicara publik untuk soal motivasi menulis.  Saya jadi bertanya pada diri saya apa yang saya tanam sekarang? Apa yang ingin saya tuai dalam tahun-tahun mendatang? Saat ini, yang paling saya anggap penting adalah menjalankan peran sebagai ibu.  Saya barusan memesan buku The Joyful Mother of Children dan Teaching Your Children Values , keduanya dari Linda Eyre. Saya ingin menjadi