Postingan

Bookselling Sometimes 'More Like Therapy Than Retail'

Bookselling Sometimes 'More Like Therapy Than Retail' : "- Sent using Google Toolbar"

Memperkenalkan "Eye of the World"

Gambar
Di negeri novel-novel fantasi, ada beberapa pesohor, yaitu serial-serial ternama buah karya para penulis yang diagungkan sebagai pendongeng yang amat dicinta pembacanya. Serial fantasi epik The Wheel of Time (WoT) karya Robert Jordan adalah salah satu yang terpenting dan terlaris dalam sejarah penerbitan novel fantasi. Buku yang pertama kali dirilis pada 1990 ini telah terbit sebanyak dua belas jilid dan, setelah penulisnya wafat pada 2007, penulisan dua jilid terakhirnya dilanjutkan oleh Brandon Sanderson, pendiri kelompok penggemar (fan base) Robert Jordan. Serial yang disebut sebagai yang terbaik dalam genre fantasi ini memuat unsur-unsur mitologi Eropa dan Asia, konsep-konsep keseimbangan dan dualitas dalam Hindu-Buddha, dan terilhami oleh War and Peace karya Leo Tolstoy. Serial The Wheel of Time terkenal dengan dunia imajinernya yang terperinci dan luas, sistem magisnya yang dikembangkan dengan amat teliti serta tokoh-tokoh ceritanya yang banyak. Delapan dari dua belas buku

Passion dan Profit

Gambar
Wow, itulah yang terucap saat saya melihat paket dari Amazon di meja pagi ini. Saya mendapat satu lagi buku Delivering Happiness! Kali ini edisi hardcover, setelah pada akhir Mei lalu mendapat dua buku yang sama edisi advance reading copy sebagai blogger yang lolos seleksi untuk mendapatkan buku gratis dari situs promosi buku ini . Wah, ujar saya dalam hati, Tony Hsieh benar-benar menjalankan apa yang dikatakannya, memberikan layanan konsumen yang “WOW”. Buku itu saya terima kurang dari dua minggu setelah peluncurannya pada 7 Juni 2010. Nama Tony Hsieh barangkali tidak terlalu dikenal di sini, demikian pula toko sepatu online yang dikelolanya dari markas yang berlokasi di Las Vegas, zappos.com. Tapi dia adalah salah satu wirausahawan dotcom paling sukses abad ini, pertama sebagai pendiri portal periklanan online LinkExchange yang diakuisisi Microsoft pada 1998 dan sekarang sebagai CEO Zappos. Melalui buku yang ditulisnya setelah Zappos diakuisisi Amazon senilai $1,2 miliar pada Novem

9 dari Nadira

Gambar
Nadira mungkin bukan sosok yang sulit dijumpai di tengah-tengah kita. Seorang wanita yang "sejak kematian ibunya memandang segala sesuatu di mukanya tanpa warna." Baginya semua tampak kusam dan kelabu, namun kisahnya menjadi rangkaian sembilan cerpen yang hidup di tangan Leila S Chudori. Telah berbilang dua puluh tahun sejak kumpulan cerpen pertamanya Malam Terakhir (Pustaka Utama Grafiti, 1989), Oktober tahun lalu Leila menghadirkan kumpulan cerpennya yang kedua 9 dari Nadira (KPG, 2009). Sesuai judulnya, ada sembilan cerpen yang terangkum di dalam buku ini, berkisah seputar kehidupan tokoh utamanya Nadira, seorang wartawati sebuah majalah mingguan di Jakarta. Cerpen-cerpen ini tidak tampil sebagai fragmen-fragmen lepas, melainkan saling terkait satu sama lain dengan gaya penceritaan yang realis. Semuanya menyangkut Nadira meski diceritakan dengan tokoh sudut pandang yang berganti-gant. Masing-masing cerita tetap mempertahankan ciri sebagai cerita pendek sekaligus ‘berc

Orkestra suatu siang

Suatu siang. Terik membawa langkahku mencari keteduhan. Deretan bangku kosong di sebuah taman. Tak ada sesiapa di sana. Hanya jejak-jejak langkah di atas pasir, mungkin seorang anak, seekor anjing dan beberapa ayam. Aroma kegembiraan serasa masih mengambang di udara. Riuh rendah sorak anak-anak bergembira, kicau burung, dan suara kita bercengkerama. Tersimpan abadi di rekaman masa, datang kembali bersama suasana. Aku menghirupnya dalam-dalam, memenuhi rongga dada dengan kesegarannya. Kapan itu, kukira sudah cukup lama. Namun tak layu juga. Barangkali sudah dua minggu berlalu. Aku tak begitu ingat. Dari kejauhan alunan Concerto Grosso No. 5 terdengar riang. Siang di waktu yang lalu itu, musik yang sama terbawa angin. Tak jelas dari arah mana. Terngiang kalimat yang kamu ucapkan saat itu, “Vivaldi pasti sedang menghapus jejak sedihnya saat mencipta lagu itu.” “Ngarang,” kubilang. “Memang.” Lalu kita diam. Delapan menit, sampai alun musik berakhir. Sebenarnya tak bisa benar-ben

Dua yang Tiada Berhingga

Gambar
Photo credit: Michal Collection/CanvaPro " I only know two things that are infinite: the universe and human stupidity."  --Albert Einstein Delapan orang di dalam ruangan ini.  Duduk bersama membicarakan angka-angka,  meminyaki mesin yang sekrupnya manusia-manusia. Kata-kata dilemparkan ke tengah meja.  Agenda rabun tak terbaca.  Masing-masing membawa berita,  tentang kekonyolan kita yang memang tiada berhingga.  Bukankah kita senantiasa suka menertawakannya. Untung di pojok ada sebuah jendela.  Sepetak angkasa tergambar di sana. Ya, hanya langit yang bisa terlihat dari jendela di lantai tiga puluh tiga.  Juga jejak asap pesawat udara. Kala jemu mulai melanda,  kulempar tatap ke ujung nirwana.  Kutemukan sebuah lagi yang kata Einstein tiada berhingga:  Hamparan luas alam semesta.

Senyum yang tak dimengerti

Apakah setiap orang punya kerinduan untuk menyendiri, berada di keheningan layaknya dalam rahim ibu? Demikian seorang teman menulis pada pengantar di blognya. Kalimat itu terlintas dalam pikiranku malam ini, ketika suara-suara begitu riuh menyesaki sebuah ruang sempit dan tiba-tiba aku merasa seperti tersedot sebuah pusaran keheningan. Tak jelas di mana letaknya, tempat yang begitu nyaman itu. Dan sebuah suara lembut menyapa menghadirkan pulsa-pulsa ketenteraman. Sekian detik saja tentunya, tapi kedalamannya tak terukur oleh waktu. Sekian detik yang menimbulkan dorongan untuk tersenyum dari dalam. Aku mendongakkan kepala. Seorang tak dikenal melihatku tersenyum ke arahnya. Tak kusengaja tentu saja, namun sayangnya itu malah membuatnya mengerutkan dahi. Maaf. "Terserap dalam pusaran keheningan di tengah keriuhan, maaf jika senyumku tak kau mengerti."

"Your name is your brand .."

Gambar
Bukan bermaksud mengikuti Wendy, Harvard, Toyota, Ford, Disney, Stanford atau Dell, tapi hanya untuk membuat alamat blog ini lebih mudah dingat, lebih singkat, dan lebih segera terasosiasikan dengan pemiliknya, maka mulai hari ini saya menggantinya dari bukanruanghampa.blogspot.com menjadi yulianiliputo.blogspot.com. Your name can be your brand, begitu kata orang-orang di luar sana, dan saya mengamininya.

Satu Hari di Bangsal Perawatan Kanker

Chris seorang pria kaya yang memiliki segalanya--uang, kebebasan, teman-teman, keluarga--tapi merasa kehilangan sesuatu yang paling dia butuhkan: kebahagiaan sejati. Gemerlap dunia, kesenangan, dan kekuasaan berada dalam genggamannya. Dia adalah sosok impian semua orang, berusia setengah baya, dan melenggang dalam kehidupan serba nyaman. Tapi suatu hari dia berada di ruang konsultasi seorang psikolog. Dia butuh bantuan menemukan kebahagiaan yang dicarinya. Sang terapis memberi satu resep: menjadi sukarelawan di bangsal perawatan kanker untuk anak-anak. Chris menceritakan pengalamannya melewati hari pertama, sebagaimana dikisahkan sang terapis. "Sampai kira-kira tengah hari," kata Chris, "aku masih sanggup mengendalikan diri tanpa terpengaruh oleh keadaan sekelilingku. Namun menjelang sore aku berjalan menyusuri lorong bangsal dan melewati sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu tampak seorang ayah dan ibu sedang menangis keras sambil berpelukan. Aku pun mengintip ke

Seperempat Detik yang Berharga

Gambar
Catatan Kedua dari buku Dan Baker, What Happy People Know Kunci untuk menghindari penyanderaan itu ternyata sebuah momen sesingkat seperempat detik! Seperempat detik itu adalah jarak antara dorongan untuk melakukan sebuah tindakan dengan tindakan itu sendiri. Momen singkat ini pertama kali dibuktikan oleh ahli bedah saraf, Dr. Benjamin Libet. Dia melakukan percobaan neurologis terhadap beberapa pasien yang tengah menjalani prosedur bedah otak. Dia menyuruh mereka menggerakkan salah satu jari sembari memantau kegiatan otak mereka secara elektronis. Saat itulah dia menemukannya: ada penundaan selama seperempat detik antara dorongan untuk menggerakkan jari dan gerakan sebenarnya. Artinya, setiap dorongan untuk bertindak yang kita rasakan—termasuk dorongan rasa takut dan amarah— memiliki jendela kesempatan selama seperempat detik yang memungkinkan kita menolak dorongan itu . Makna penemuan ini luar biasa. Seperempat detik mungkin kedengaran tidak terlalu lama, tetapi itu waktu ya

Agar Tak Disandera Amygdala

Gambar
Group of people silhouette by Valentin Vesa/CanvaPro Ini adalah bagian pertama dari rangkaian catatan “mengikat makna” dari sebuah buku yang menemani saya selama enam bulan terakhir. Buku ini saya dapatkan sebagai hadiah dari Mas Hernowo atas endorsment saya untuk buku  Mengikat Makna Update . Judulnya What Happy People Know , karangan Dan Baker, edisi Indonesianya diterbitkan Kaifa (Des, 2006).  Saya membacanya sedikit-sedikit di waktu luang yang terselip ketika menjemput anak dari sekolah, antre di dokter atau di bank. Buku ini memang jenis bacaan yang cocok untuk mengisi kesempatan-kesempatan seperti itu—tidak mengandung ketegangan yang membuat kita sulit berhenti membacanya, isinya perlu diendapkan sedikit-sedikit untuk meninggalkan kesan yang kuat.  Banyak hal menarik yang ingin saya simpan dari buku itu. Pengarangnya sendiri menyarankan: “Saya setulusnya berharap bahwa Anda berusaha memahami pokok-pokok yang saya sampaikan dalam buku ini—berusaha untuk benar-benar merasakan dan m

Menikmati Simbol yang Hilang

Gambar
Sesekali kita bertemu dengan noval thriller yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menggelitik rasa ingin tahu. Novel kelima Dan Brown yang sudah lama ditunggu-tunggu ini dapat dibilang memuaskan pembaca dari kedua sisi itu. Membacanya seperti memasuki labirin dengan lorong-lorong pendek penuh kejutan. Adegan demi adegan disebar acak seperti keping puzzle yang kita susun di dalam pikiran kita—-puzzle yang bentuk utuhnya baru muncul setelah novel tuntas dibaca, meski setengah jalan kita bisa sedikit menebak ke mana arahnya.

Olenka dan "Karya Tulis sebagai Barang Koden"

Gambar
Saya ditemani Olenka dalam sebuah perjalanan. Novel lawas karya Budi Darma itu terbit pertama kali tahun 1983, kemudian dirilis ulang oleh Balai Pustaka pada 2009. Lalu, diperbarui lagi oleh Noura Books pada 2016.* Belum jauh mencebur ke dalam novel, saya menjumpai kalimat yang menggelitik. Kalimat itu keluar dari benak salah satu tokoh cerita, Wayne, ketika menanggapi cerpen karyanya sendiri dengan judul “Olenka” juga: “Inilah kesulitan pengarang,” katanya. Karena pengarang tidak dapat saling membunuh, mereka menulis terus. Dengan demikian tulisan mereka yang baik dianggap sebagai produksi massal. Kalau produksi massal ini dimonopoli satu dua orang, khalayak tidak akan gegabah menganggap hasil produksi satu dua orang ini sebagai barang koden. Sebaliknya, kalau produksi massal dihasilkan oleh massa, produksi mereka dianggap sebagai barang koden. (h. 17) Pernyataan yang mirip diulanginya lagi di tempat lain”: Semua tulisan yang baik dapat menjadi koden, kalau jumlah yang sang

The Girl with the Dragon Tattoo

Gambar
Kasus pembunuhan yang tidak terungkap bisa berubah menjadi obsesi seumur hidup bagi anggota keluarga korban atau perwira polisi yang menyelidikinya. Mereka terus berusaha mencari jawabnya lama setelah semua orang lain melupakannya dan menganggapnya selesai. Itulah yang terjadi pada Henrik Vanger, pemilik salah satu perusahaan keluarga terkaya di Swedia. Dia kehilangan keponakan kesayangannya, Harriet, pada suatu hari di bulan September 1966. Harriet lenyap pada usia enam belas. Selama tiga puluh enam tahun sejak itu, Henrik tidak pernah berhenti mencari dan melacak misteri lenyapnya Harriet. Dia yakin Harriet dibunuh lalu mayatnya dibuang tanpa jejak, dan pembunuhnya adalah salah seorang anggota keluarganya sendiri. Namun tak ada satu pun bukti untuk itu. Setelah ulang tahunnya yang ke-82, Henrik memercayakan penyelidikan itu kepada Carl Mikael Blomkvist. Bukan polisi atau detektif, Blomkvist adalah wartawan keuangan dan pemilik majalah Millenium . Penyelidikan yang dilakukan Bl