Bahasa dan Kekerasan

Anak salah seorang teman saya sangat senang memukul. Orang bilang anak itu seperti gatal tangannya kalau tidak diayunkan untuk memukul anak lain. Saya lihat di antara anak-anak teman saya, hanya dia yang berperilaku seperti itu. 

Anak itu berusia dua tahun, belum bisa bicara dan masih ngedot botol susu. Saya menduga, dia suka memukul karena kurang diajak bicara. Selain juga, barangkali, karena mendapat contoh dari orangtua. 

Pemicunya, seperti biasa di antara anak-anak, adalah rebutan mainan. Jika tidak diberi, tangannya dengan cepat memukul kawannya dengan bertubi-tubi. Kawan yang dipukulinya sudah menangis hebat ketika ibu si anak itu datang melerai. 

Apa yang dilakukan si ibu setelah itu? Dia menjewer telinga anaknya dan menyuruh dia minta maaf. Anak itu akan datang kepada kawannya yang sudah berurai airmata dan lelehan ingus itu, mendekatkan muka ke wajah yang meringis itu sambil bilang gomen ne, bahkan kadang mencium pipi kawannya yang menangis. 

Orang-orang dewasa di sekitarnya tersenyum melihat adegan itu. Anak itu mendapat pesan tersirat bahwa yang dilakukannya itu baik. Tapi tak berapa menit kemudian terdengar lagi ledakan tangis, anak itu memukul lagi anak yang lain. 

Berulang lagi. Ibunya dipanggil. Anaknya diangkat menjauhi tempat kejadian dan disuruh minta maaf setelah dijewer. Ke mana pun dia pergi, akan berulang begitu lagi. Si ibu berusaha bicara nihongo dengan anaknya. Dia hanya menyampaikan sepatah dua kata untuk menjelaskan perbuatan yang salah itu, dame, yamete, abunai, tomodachi. Kosakatanya terbatas untuk menjelaskan perilaku yang buruk itu pada anaknya. 

Saya rasa anak tidak bisa mengerti bahwa perbuatan itu tidak baik. Dia tidak mendapat saluran keluar untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya. Dia tidak cukup dipancing untuk membicarakan apa yang dia inginkan sehingga satu-satunya jalan yang dia ketahui adalah dengan menggunakan tangannya. 

Ssaya heran mengapa ibunya tidak menggunakan bahasa yang dikuasainya dengan baik untuk bicara dengan anaknya. Anak-anak akan mudah menangkap bahasa asing dari lingkungan, jadi untuk komunikasi di dalam keluarga sebaiknya dia menggunakan bahasa ibu, yang dengannya dia bisa mengungkapkan naik turunnya emosi, nuansa keindahan, percakapan ringan yang menumbuhkan kedekatan dengan anak. 

Sulit membayangkan apa yang dibicarakan ibu itu dengan anaknya ketika sedang bersepeda atau jalan-jalan, mereka melihat bunga, burung-burung beterbangan, lalu lintas yang ramai, orang-orang yang berdesakan, atau stasiun yang sedang sepi. Apakah semua peristiwa itu dibiarkan berlalu tanpa jejak hanya lantaran dia tidak punya kosakata nihongo untuk menceritakannya. Betapa banyak pengalaman yang hilang dalam masa kecil anak itu. 

Saya sedih jika anak sudah belajar dan beralih menggunakan kekerasan yang ada di tangannya sejak kecil karena dia tidak bisa mengatakan keingiannya dengan bahasa.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya