Sado

Sado (Traditional Japanese Tea Ceremony). Photo Credit: oluolu3


Hampir empat tahun berada di Tokyo, belum sekali pun saya mendapat kesempatan mengikuti sebuah upacara minum teh Jepang secara lengkap. Satu-satunya yang mendekati itu adalah ketika menutup jamuan makan siang di rumah Nakamura-sensei, profesor pembimbing suami saya. Tuan rumah menyajikan teh hijau dengan rangkaian ritual singkat yang dicomot dari bagian-bagian upacara Sado.

Maka, ketika sebuah organisasi persahabatan internasional di Koganei, distrik tempat kami tinggal di barat Tokyo, mengadakannya untuk orang asing, saya langsung mendaftar ikut serta, tidak ingin melewatkan kesempatan itu. 

Mengikuti upacara minum teh ini seperti menyingkapkan satu lagi rahasia sisi dalam Jepang yang selama ini tidak terjangkau bagi saya. Sudah lama saya mendengar bahwa upacara yang satu ini begitu penuh simbol dan ritual, seolah hanya kalangan ningrat atau terpilih saja yang dapat mengikutinya.

Barangkali begitulah keadaannya di zaman dulu, ketika upacara minum teh merupakan kebiasaan sosial untuk tamu terhormat, para daimyo dan samurai. Untungnya sekarang ada orang yang mengkomersilkan upacara itu, sehingga siapa pun yang ingin mengalaminya dapat datang dengan membayar sejumlah uang.

Ruang yang kami masuki sejak awal terasa begitu berbeda. Melalui gerbang kayu kami masuk ke dalam sebuah taman Jepang yang rimbun, rasanya seperti masuk ke dalam dunia yang terpisah jauh dari lingkungan sekitarnya. Seperti berabad-abad jaraknya dari bangunan mansion dan apartemen yang kaku di sepanjang jalan menuju kompleks ini, terlempar ratusan tahun dari rumah berpagar besi dan garasi berteralis di depannya. 

Taman itu teduh dengan pohon-pohon rindang, tanah berlumut, batu kerikil, jalan setapak, kolam kecil dan air pancuran yang menetes satu-satu dari saluran bambu ke dalam guci besar di bawahnya. Kami berjalan meniti batu pipih menuju ruang pertama penerimaan tamu.




Ada tiga bangunan dalam halaman ini. Ketiganya terbuat dari kayu dan bambu. Kayu-kayunya telah mengitam karena usia, beberapa bagian tampak telah diganti. Kesannya kuno tapi terawat. Tempat ini dikelola oleh sebuah keluarga dengan dua anak. Barangkali usaha turun-temurun selama beberapa generasi. Mungkin sebelumnya mereka adalah bagian dari keluarga keturunan bangsawan, yang sering menjamu tamu kehormatannya dengan upacara minum teh.

Si ibu dan anak perempuannya mengenakan kimono berwarna lembut, kelabu dan kuning muda. Si bapak dan anak lelakinya berpakaian barat, kemeja putih, dasi dan jas. Ruang tempat kami berkumpul itu berlantai batu. Tidak harus buka sepatu untuk memasukinya. Langit-langit yang rendah dan jendela kecil menghadap halaman yang rindang membuat ruangan itu remang-remang. Satu-satunya sumber cahaya adalah bola lampu berkap di atas tiang di pojok ruangan. Meja kayu dan tempat duduk beralas bantal tipis berjejer sepanjang tiga sisi ruangan itu. 


Kami duduk menunggu tuan rumah menyambut dan memberi penjelasan. Tadinya saya mengira di sanalah upacara itu akan dilangsungkan. Saya heran mengapa kami duduk di bangku, bukan di atas tatami. Rupanya, begitu banyak jenjang menjelang upacara yang utama. Ini baru tahap pertamanya, sambutan tuan rumah yang memberi tahu arti upacara minum teh dan ritualnya.

Upacara ini pada dasarnya adalah cara untuk menghormati tamu. Di dalamnya banyak ritual dan makna yang dipertahankan sejak lama. 

Masuk ke dalam ruang upacara itu seperti memasuki sebuah alam lain yang lebih suci dan lembut. Semua perlengkapan yang terbuat dari logam, seperti cincin, jam tangan, anting, dan gelang harus dilepas sebelum masuk ruangan. Perlengkapan minum teh hanya boleh bersentuhan dengan barang-barang yang lembut. Tangan dan mulut dicuci bersih. Alas kaki dilepas. 

Setiap tamu diberi sebuah kipas sebagai sarana memperkenalkan diri. Kipas itu sebagai ganti pedang bagi para samurai. Aslinya kipas dalam upacara minum teh terbuat dari logam, bukan plastik seperti yang kami dapatkan saat itu.

Keluar dari ruangan itu kami berpindah ke bangunan di sampingnya, melepas alas kaki, menggantinya dengan sandal jerami kemudian mencuci tangan dan mulut di air pancuran kecil dekat pagoda batu di sisi kiri bangunan. 

Mencuci tangan adalah penyucian untuk masuk ke dalam dunia yang berbeda, demikian dijelaskan tuan rumah. alam sesudah ini lebih suci dari yang sebelumnya. Orang yang memasukinya mesti membersihkan diri terlebih dahulu. Saya mencoba menghirup dalam-dalam udara di ruangan itu, ingin merasakan perbedaannya.



Bangunan kedua ini berupa rumah panggung berteras yang dikelilingi oleh pagar bambu yang tinggi dan rapat. Setelah mencuci tangan, kami masuk ke ruang belakang melalui pintu kecil yang lebih tepat disebut lubang karena ukurannya kurang dari satu meter persegi, terletak lebih tinggi dari lantai tempat pancuran tadi. 

Dijelaskan bahwa pintu masuk itu dibuat kecil untuk mencegah kemungkinan orang masuk membawa senjata semacam pedang dan tombak ke dalamnya. Ruang di dalamnya kecil dan dibuat berlangit-langit rendah untuk tujuan pengamanan. Agar orang tidak mungkin menebaskan pedang dalam ruangan itu.

Untuk masuk ke dalamnya, sandal jerami dilepas di atas sebuah batu di depan lubang pintu, kemudian kipas dalam keadaan terlipat disodorkan masuk terlebih dahulu, baru setelah itu si pembawa kipas masuk dengan berlutut dan beringsut maju mendekati sebuah ceruk di dinding. 

Ruangan itu remang-remang, cahaya hanya berasal dari sebuah lampu dalam ceruk dinding yang fungsinya lebih untuk menerangi apa yang ada di dalam ceruk itu saja. Sebuah kaligrafi huruf kanji, bunga semusim dan dupa pengharum ruangan ditata di dalam ceruk itu untuk diapresiasi tamu. Dalam ceruk lain di ruang yang sama tuan rumah memperlihatkan persiapan teh yang akan disajikan, tungku untuk merebus air yang di atasnya terletak guci besar, cawan dan bubuk teh di dalam guci kecil.

Masih ada satu ruangan lagi sebelum masuk ke ruangan upacara. di dalam ruangan ini semua tamu berkumpul, tuan rumah menjelaskan sekali lagi makna simbol-simbol dalam ritual minum teh, desain bangunan dan sejarahnya.

Pada langit-langit ruangan ini ada jendela-jendela berlapis kertas. Ruang di atas langit-langit itu mustahil digunakan untuk bersembunyi bagi orang yang berniat menyerang. ruangan ini pun berloteng rendah sehingga menghalangi kemungkinan orang menebaskan pedang di dalamnya. Semuanya dirancang untuk menjaga suasana damai dan tenang semaksimal mungkin.

Salah seorang tamu laki-laki dianggap berperan sebagai tamu utama. Kami memasuki ruang upacara mengikuti dia, duduk di atas tikar biru yang melapisi lantai tatami. Aslinya lantai tatami tidak perlu dilapisi karena posisi tamu duduk sebenarnya ditentukan dengan menghitung sejarak enam belas baris di bawah batas tatami. 

Setelah duduk melipat kaki dengan rapi, kipas diletakkan di depan lutut, saling membungkuk mengucapkan salam, kemudian dengan tangan kiri, kipas diambil, disimpan di belakang masing-masing. Setelah itu tuan rumah mengeluarkan perangkat pembuatan teh yang tadi telah diperlihatkan. Satu persatu diletakkan di pojok ruangan oleh nyonya rumah, tungku dan gucinya, bubuk teh, cangkir dan pengaduknya.

 




Upacara minum teh bukan hanya untuk menikmati teh, setiap gerakan dan setiap benda dihadirkan untuk diperhatikan dan diapresiasi. Satu per satu gerakan mempersiapkan teh itu dilakukan dengan lambat seperti pertunjukkan opera Noh. 

Tungku menyala, air mendidih, perangkat diusap dengan saputangan merah yang dilipat segitiga dan dibalutkan ke tangan kiri. Air mendidih. Teh siap diseduh.

Sementara itu disajikan sebuah kue yang teramat manis. Cara menyajikan dan mengambilnya pun ada aturan yang penuh sopan-santun. Saling membungkuk antara penyaji dan tamu, saling membungkuk untuk minta izin dan mempersilakan mengambilnya duluan antara satu tamu dan tamu berikutnya. Cara memegang sumpit, mengambil kue, meletakkannya di atas kertas, mengelap ujung sumpit dan mengembalikannya juga tidak sembarangan. 

Tamu kemudian memakan kue manis yang bentuknya sesuai dengan bunga yang kembang pada musim itu. Untuk bulan Juni adalah bungai ajisai. Kue itu terbuat dari bahan nabati, di tengahnya kacang merah tumbuk. Warnanya ungu, hijau dan putih. Kue itu manis sekali karena untuk mempersiapkan lidah bagi hidangan teh yang pahit.

Selesai makan kue, nyonya rumah mulai menceduk air yang sedang mendidih di dalam guci dengan gayung kayu, dituang ke dalam cawan yang sudah berisi bubuk teh. dikocok-kocok hingga berbuih, dihidangkan.

Saat menyajikan teh kepada tamu, tuan rumah memegang cawan dengan kedua tangan, memutarnya dua kali di atas tangan kanan, meletakkannya di atas tatami di hadapan tamu, membungkuk dan mempersilakan. Tamu membalas membungkuk dengan ucapan penerimaan, mengambilnya dengan dua tangan, memutar cawan dua kali di atas tangannya sambil mengamati pola di luar cawan, menyeruput teh sedapatnya dengan suara ribut, kemudian memberi komentar tentang cawannya.

Bentuk cawan juga disesuaikan dengan musim. Cawan yang tinggi untuk musim dingin, supaya kehangatan teh bertahan lebih lama. Cawan yang ceper untuk musim panas, supaya teh lebih cepat dingin. 

Dari pola hiasan di luar cawan bisa diketahui zaman pembuatannya. Ada cawan modern yang hiasannya diilhami oleh cerita Alice in Wonderland, ada pola yang menggambarkan binatang di musim dingin, ada bercorak tumbuhan atau bergaris-garis. hampir tidak ada cawan yang polos begitu saja.

Tidak ada musik mengiringi keseluruhan upacara itu. Hanya desau angin mengesek dedaunan di luar, tetes air di pancuran, dan desis air mendidih di tungku kecil di pojok ruangan. Suara alam. Ditambah suara percakapan kami sendiri. Percakapan biasanya dilakukan antara tuan rumah dan tamu utama yang duduk paling ujung, paling dekat dengan tungku, paling awal mendapat sajian. tamu lain mestinya hanya mendengar percakapan itu. Tapi dalam acara ini kami semua boleh bertanya, upacara ini bukan sebuah ritual, tapi sebuah wisata.

Ruangan upacara terletak di paling depan, pintunya membuka lebar ke arah taman yang tadi kami lewati ketika baru datang. Halaman berkerikil, pohon mapel, taman lumut, jalan setapak dan kolam berair pancuran. Di dalam ruangan ini terdapat dua ceruk pajang. Yang satu berisi tiga rangkaian kaligrafi, bunga semusim dan harum-haruman. Yang lainnya berisi semacam kantung yang di dalamnya tersimpan daun tumbuh-tumbuhan yang harum.

Setiap benda dan gerakan penuh simbol, penuh arti, seolah-olah mewakili sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Kalau digali lebih dalam lagi, mungkin ada misteri lain yang bisa diketahui. 

Mengalami ini semua membuat saya merasa ingin tahu lebih banyak sekaligus ingin membiarkan semuanya tetap misterius, karena dengan demikian rahasianya tetap terjaga dan menjadi daya tarik yang tidak ada habisnya.




Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya