The Girl with the Dragon Tattoo



Kasus pembunuhan yang tidak terungkap bisa berubah menjadi obsesi seumur hidup bagi anggota keluarga korban atau perwira polisi yang menyelidikinya. Mereka terus berusaha mencari jawabnya lama setelah semua orang lain melupakannya dan menganggapnya selesai. Itulah yang terjadi pada Henrik Vanger, pemilik salah satu perusahaan keluarga terkaya di Swedia. Dia kehilangan keponakan kesayangannya, Harriet, pada suatu hari di bulan September 1966. Harriet lenyap pada usia enam belas.

Selama tiga puluh enam tahun sejak itu, Henrik tidak pernah berhenti mencari dan melacak misteri lenyapnya Harriet. Dia yakin Harriet dibunuh lalu mayatnya dibuang tanpa jejak, dan pembunuhnya adalah salah seorang anggota keluarganya sendiri. Namun tak ada satu pun bukti untuk itu. Setelah ulang tahunnya yang ke-82, Henrik memercayakan penyelidikan itu kepada Carl Mikael Blomkvist. Bukan polisi atau detektif, Blomkvist adalah wartawan keuangan dan pemilik majalah Millenium. Penyelidikan yang dilakukan Blomkvist itulah yang menjadi salah satu alur besar cerita dalam novel The Girl with Dragon Tattoo.
Pada saat menerima tugas itu, Blomkvist sendiri sedang berada dalam keadaan sulit: kalah dalam pengadilan pencemaran nama baik terhadap seorang mega-industrialis Swedia Hans-Erick Wennerstrom. Gara-gara tulisannya di Millenium yang menyebut Wennerstorm terlibat perdagangan narkoba dan senjata ilegal, pengadilan menetapkannya wajib membayar denda yang akan meludeskan seluruh tabungannya dan membuatnya mendekam di penjara selama tiga bulan. Upaya Blomkvist melakukan serangan balik terhadap kekalahannya di pengadilan itu menjadi plot kedua dalam cerita bergenre campuran thriller, misteri dan kriminal ini.

Menyelidiki kasus pembunuhan yang sudah berusia hampir empat dekade dan telah dikupas tuntas segala sisinya tampak seperti sekadar memenuhi hobi dan kemelitan seorang pengusaha tua kaya seperti Henrik. Materi penyelidikan yang telah dikumpulkannya selama kurun waktu yang panjang itu menumpuk setinggi enam meter, terdiri dari foto-foto, artikel koran, dan dokumen penyelidikan polisi. Sepertinya tak ada lagi hal baru yang dapat ditemukan. Blomkvist tak punya motivasi kuat untuk menerimanya.

Akan tetapi, sebagai mantan CEO kelompok perusahaan Vanger, Henrik punya kartu as untuk Blomkvist. Dia tahu kelicikan bisnis Wennerstrom dan memiliki bukti kuat untuk mendukung Blomkvist. Itulah yang digunakannya untuk memancing wartawan idealis itu menerima tawarannya, selain imbalan jutaan kronor. Henrik mengunci Blomkvist dengan penegasan: “Pecahkan misteri ini dan kau akan mengubah kekalahanmu di pengadilan menjadi kisah paling spektakuler tahun ini.” Dengan demikian pengarang mempertautkan kedua plot besar yang sangat berbeda itu secara sempurna.

Dalam perjalanan pelacakan misteri inilah Blomkvist bersua Lisbeth Salander, si gadis bertato naga yang membuat novel ini punya judul yang menggoda. Salander adalah tokoh superhero yang digambarkan secara agak berlebihan oleh pengarangnya. Gadis dua puluh empat tahun, bertato-bertindik, hacker genius, memiliki daya ingat fotografis, tertutup, sulit memercayai orang, dan dianggap tidak kompeten secara sosial, namun terkadang memiliki kearifan yang jauh melampaui usianya. Seperti misalnya komentar yang dilontarkan Salander saat Blomkvist mencoba memaklumi kekejaman salah seorang penyiksa wanita dan pelaku pembunuhan berantai dalam buku ini: “Aku hanya berpikir betapa menyedihkan kalau setiap penjahat selalu melemparkan tanggung jawabnya pada orang lain.”

Dalam bahasa aslinya, judul novel ini adalah Man som hatar kvinnor (Lelaki yang membenci wanita). Meski lebih tumpul dan kurang menarik dibandingkan The Girl with Dragon Tattoo, judul asli itu lebih mendekati ceritanya. Beberapa tokoh lelaki dalam novel ini adalah pembenci wanita dalam tingkatan yang bisa disebut patologis. Unsur kekerasan dan seks pun muncul secara cukup dominan dalam buku pertama dari trilogi karya Steig Larrson ini.

Pada halaman pembatas antar bagian novel itu, pengarang menyelipkan kutipan-kutipan statistik pendukung yang antara lain menyebut “18% perempuan Swedia pernah mendapat ancaman dari seorang pria setidaknya satu kali,” “46% perempuan di Swedia pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki,” dan “92% perempuan di Swedia yang pernah mengalami kekerasan seksual tidak melaporkan kepada polisi.” Salander sendiri mengalami hal itu dari orang yang semestinya menjadi wali pelindungnya, dan dia melakukan pembalasan dengan cara yang sangat heroik.

Blomkvist dan Salander memecahkan misteri Harriet jauh sebelum novel selesai. Setelah ketegangan penyelesaian misteri itu berlalu, Larsson beralih ke penyelesaian plot Blomkvist vs Wennerstorm dengan laju cerita yang agak tergesa-gesa. Salander juga membantu Blomkvist dalam soal ini melalui kemampuan hackernya menyusup ke dalam komputer Wennerstorm. Terungkapnya kasus Wennerstrom mengakibatkan badai yang cukup mengguncangkan ekonomi Swedia. Larsson juga memanfaatkan bagian ini sebagai kendaraan untuk menyuarakan kritiknya terhadap para wartawan keuangan.

Melalui Blomkvist, Steig Larsson yang juga berprofesi sebagai wartawan mengatakan, para wartawan ikut bertanggung jawab atas krisis keuangan yang terjadi karena mereka tak jarang memperlakukan penjahat penyebab krisis seperti Wennerstorm bak seorang bintang. “Mereka membantunya membangun citra yang baik melalui penggambaran-penggambaran yang tolol, bahkan mengidolakannya. Kalau saja selama ini mereka melakukan tugasnya dengan benar, situasi seperti ini tidak perlu kita hadapi.”

Membaca buku yang satu ini bisa diibaratkan berjalan di pantai yang sangat landai, pelan-pelan menyusuri perairan yang dangkal dan tenang hingga jauh dari daratan, dan tiba-tiba kita mendapati diri telah berada di tengah laut yang dalam. Ketegangan novel thriller setebal 786 halaman ini baru mulai menggila setelah halaman 500-an. Penulisnya dengan sabar menyusun balok bangunan cerita satu per satu dengan detail yang kuat, menggiring kita dengan alur yang melenakan, mendekatkan kita dengan pikiran kedua tokoh utama dan merasakan denyut kehidupan di kota dan desa Swedia tempat cerita berlangsung.

Di Eropa, novel ini menciptakan sensasi. Hingga pekan lalu, karya Steig Larsson ini masih menduduki daftar bestseller berbagai versi sejak pertama kali terbit pada 2005. Disebut-sebut sebagai buku terlaris yang hanya dikalahkan oleh penjualan Alkitab, karya yang terbit setelah penulisnya meninggal dunia ini telah terjual jutaan kopi di Eropa dan meraih banyak penghargaan. Setelah buku pertama, dua buku lain dalam serial yang dinamai Millenium Trilogy ini adalah The Girl who Played with Fire dan The Girl who Kicked the Hornet’s Nest. Adaptasi filmnya telah dilakukan di Swedia pada 2008, dan versi Hollywodnya akan segera menyusul. Jika Anda menginginkan kisah misteri dan kriminal yang cerdas, menegangkan, dan mencengangkan, Anda akan mendapatkannya dalam trilogi yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh Qanita ini.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya