Menikmati Simbol yang Hilang





Sesekali kita bertemu dengan noval thriller yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menggelitik rasa ingin tahu. Novel kelima Dan Brown yang sudah lama ditunggu-tunggu ini dapat dibilang memuaskan pembaca dari kedua sisi itu. Membacanya seperti memasuki labirin dengan lorong-lorong pendek penuh kejutan. Adegan demi adegan disebar acak seperti keping puzzle yang kita susun di dalam pikiran kita—-puzzle yang bentuk utuhnya baru muncul setelah novel tuntas dibaca, meski setengah jalan kita bisa sedikit menebak ke mana arahnya.

Novel yang menjadi fenomena di dunia penerbitan akhir tahun 2009 ini menceritakan bagaimana Robert Langdon, ahli simbologi dari Harvard, kembali berhadapan dengan sebuah perkumpulan rahasia, teka-teki kuno dan seorang tokoh psikopat yang bisa menjadi sangat jahat. 

Pembaca yang sudah menikmati karya-karya Dan Brown terdahulu yang menampilkan Robert Langdon (Angels & Demons dan The Da Vinci Code), tentu akan segera mengenali pola berceritanya. Ada beberapa hal yang paralel dalam ketiga novel itu. Dalam Angels, Profesor Robert Langdon bergegas pindah dari satu tempat ke tempat lain di kota Roma, untuk menyelamatkan kota itu dari sebuah ledakan dan mengungkap rahasia-rahasia religius yang mengguncangkan inti Kekristenan. Dalam Da Vinci, dia beredar di Paris dan London, memecahkan misteri sebuah pembunuhan dan rahasia seputar garis keturunan Yesus. 

Dalam The Lost Symbol, kota tempat berlangsungnya adegan-adegan menegangkan itu adalah Washington D.C. dan misteri yang dikejarnya adalah sebuah rahasia kuno yang diyakini terkubur di suatu tempat di kota itu. Vittoria Vetra dalam Angels dan Sophie Nevue dalam Da Vinci kini mewujud dalam sosok Katherine Solomon, wanita 50 tahun yang menggeluti Noetic Science. Jacques Sauniere, yang menjadi korban pembunuhan dalam Da Vinci, paralel dengan Peter Solomon korban mutilasi tokoh antagonisnya. 

Silas si albino dalam Da Vinci menjelma Mal’akh, lelaki bertubuh besar, berkepala plontos yang mempersembahkan tubuhnya sebagai kanvas bagi simbol-simbol mitos Mason. Dan, posisi organisasi rahasia Illuminati dan Opus Dei kini diisi oleh Freemasonry.


Kisah bermula ketika Robert Langdon tiba di Washington pada suatu sore di bulan Januari untuk memenuhi permintaan menjadi pembicara pada acara tahunan Dewan Smithsonian. 

Alih-alih menemukan hadirin untuk acara itu, Langdon justru mendapati sebuah undangan berupa “Tangan Misteri”, tergeletak di tengah lantai ruangan melingkar Capitol. “Tangan Misteri” itulah awal dari teka-teki yang harus dipecahkan Langdon dan menggiringnya ke dalam petualangan pengungkapan rahasia Mason. Langdon hanya punya waktu beberapa jam untuk memecahkan misteri itu, sementara taruhannya tak kurang dari nyawa mentor kesayangannya Peter Solomon, dan apa yang disebut CIA sebagai “krisis keamanan nasional.” 

Banyak penganut teori konspirasi menyatakan bahwa para pendiri AS penganut Mason menyembunyikan rahasia-rahasia besar di seluruh Washington, bersama pesan-pesan simbolis yang disimpan dalam tata letak jalan-jalan kota. 

Dalam kariernya Langdon tidak pernah menggubris itu. Kesalahan informasi mengenai kaum Mason itu menurutnya sudah begitu lumrah hingga mahasiswa Harvard terpelajar sekalipun tampaknya punya konsepsi yang sangat menyimpang mengenai kelompok persaudaraan itu. 

 Namun malam itu Langdon harus mengubah sudut pandangnya. Untuk menyelamatkan Peter Solomon dia harus menemukan priamida Masonik yang menyimpan rahasia-rahasia kuno yang nyata adanya, “pengetahuan rahasia yang telah terkumpul sejak dahulu kala,” dan yang “memungkinkan orang mengakses kemampuan luar biasa yang tersembunyi dalam pikiran manusia." 

Tebak, apa yang menjadi rintangan bagi Langdon dalam menyelamatkan Peter Solomon? Seperti juga dalam dua novel terdahulu serial ini, rintangannya adalah agen pemerintah dan polisi—dalam kasus ini adalah CIA. 



Sampai di sini dapat diibaratkan Dan Brown seperti membuat kue baru menggunakan cetakan lama untuk adonan dengan warna dan rasa berbeda. Gaya seperti ini berisiko membosankan pembaca, namun Dan Brown punya cara untuk mengelakkan itu. Kenikmatan membaca buku ini terletak pada teka-teki yang diserakkan Dan Brown di sepanjang novelnya. 

Kita dipertemukan dengan simbol-simbol alkemis kuno, persegi empat Franklin formasi delapan, circumpunct, apotheosis of Washington, pembicaraan tentang deisme, dan Noetic Science yang disebut Dan Brown sebagai ilmu pengetahuan yang telah sangat maju sehingga tidak lagi mirip dengan sains, melainkan lebih mirip sihir atau magis. 

 Uraian tentang Noetic Science mengingatkan kita pada apa yang diuraikan Rhonda Bryne dalam The Secret. Bisa dibilang Noetic Science adalah upaya untuk mencari landasan ilmiah bagi keyakinan bahwa pikiran manusia memiliki kekuatan mirip gaya gravitasi terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. 

Ilmu yang didalami oleh Katherine Solomon ini berusaha menggunakan sains modern untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis kuno seperti, Apakah ada yang mendengar doa-doa kita? Adakah kehidupan setelah kematian? Apakah manusia punya jiwa? Kaitan antara Noetic Science dengan The Lost Symbol yang diburu Langdon adalah pada Mal'akh yang takut bahwa ilmu itu akan membuat pencerahan spiritual tertinggi dapat diraih oleh orang awam seperti kita-kita ini.

Arti sebenarnya dari The Lost Symbol itu sendiri disembunyikan Dan Brown di balik selubung sejumlah alegori, persis seperti yang dilakukan organisasi Mason terhadap rahasia-rahasia mereka. Kejelasan duduk perkara kejar-mengejar dalam ketegangan novel ini tidak datang dengan cepat, karena Dan Brown menyusun narasinya secara berlapis-lapis, dengan cerdik menahan beberapa informasi dari pembaca dengan mengubah tokoh sudut pandang pada saat-saat kritis. 

Menggemaskan, terkadang, dan berhasil menggelegakkan rasa penasaran dan menjaga daya tarik novel ini, sebagaimana kita selalu tergerak untuk membongkar rahasia. Memang itulah bumbu utamanya. Bahkan, kata pertama yang membuka cerita novel yang edisi Indonesianya lahir dari tangan Penerbit Bentang ini adalah “rahasia”. Rahasia yang diletakkan di atas latar faktual sejarah Amerika dan bangunan-bangunan tua di kota Washington.


Dan Brown melukiskan pengalaman menulis buku ini sebagai "perjalanan aneh dan menakjubkan". 

Bagi pembaca, barangkali perjalanan itu jadi menggemaskan dan mendebarkan, ditambah keasyikan bergelut dengan teka-tekinya yang membantu mempertahankan stamina untuk menyelesaikan novel setebal 705 halaman ini. Rahasia dalam kisah yang ditulis Dan Brown berdasar riset selama lima tahun ini juga tersembunyi di sampul bukunya. 

Usai membaca, cermati baik-baik kode-kode yang tersebar di sekujur sampul novelnya, ada petualangan lain menanti di sana. Kemudian, jika masih penasaran, barangkali Anda berminat pada beberapa buku yang ditulis khusus untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mengurai arti dan meringkas novel ini.  




Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya