9 dari Nadira




Nadira mungkin bukan sosok yang sulit dijumpai di tengah-tengah kita. Seorang wanita yang "sejak kematian ibunya memandang segala sesuatu di mukanya tanpa warna." Baginya semua tampak kusam dan kelabu, namun kisahnya menjadi rangkaian sembilan cerpen yang hidup di tangan Leila S Chudori.

Telah berbilang dua puluh tahun sejak kumpulan cerpen pertamanya Malam Terakhir (Pustaka Utama Grafiti, 1989), Oktober tahun lalu Leila menghadirkan kumpulan cerpennya yang kedua 9 dari Nadira (KPG, 2009). Sesuai judulnya, ada sembilan cerpen yang terangkum di dalam buku ini, berkisah seputar kehidupan tokoh utamanya Nadira, seorang wartawati sebuah majalah mingguan di Jakarta.

Cerpen-cerpen ini tidak tampil sebagai fragmen-fragmen lepas, melainkan saling terkait satu sama lain dengan gaya penceritaan yang realis. Semuanya menyangkut Nadira meski diceritakan dengan tokoh sudut pandang yang berganti-gant. Masing-masing cerita tetap mempertahankan ciri sebagai cerita pendek sekaligus ‘bercita-cita’ menjadi bab dari sebuah novel: rasanya akan sulit menikmati jalan cerita jika kita memilih untuk memulai dari sembarang bab.

Suasana yang terasa sejak halaman awal buku ini adalah muram. Cerpen pertama bercerita tentang kematian Kemala, ibunda Nadira yang memilih mengakhiri hidupnya pada suatu pagi dan Nadira yang lintang-pukang keliling Jakarta mencari bunga seruni kesukaan sang ibu untuk acara pemakamannya. Sudah sejak cerita pertama ini kita dihadapkan dengan rangkaian lompatan besar latar waktu dan tempat yang menjadi gaya pengarang di sepanjang buku ini. Gaya penceritaan yang membuat alur kisah terasa tak mulus dan lambat untuk tergambar secara utuh dalam benak pembaca.

Tokoh-tokoh dalam cerita ini bergelimang aneka masalah dan kelemahan manusiawi. Nadira yang menjadi mahal senyum selama empat tahun sejak ibunya meninggal, seorang yang tertutup dan punya kebiasaan meringkuk tidur di kolong meja kantornya selama berhari-hari. Nina, kakak yang tak mampu memaafkan adiknya dan yang gagal membina rumah tangga.

Ayah mereka pun, Bram, wartawan senior yang lumpuh-hidup setelah dimutasi ke bagian iklan, menjalani masa tua yang tak kalah suram dengan bernostalgia tentang kejayaannya yang telah silam; memutar kaset video All the Presidents Men hampir setiap malam sejak kematian istrinya. Arya, kakak lelaki Nadira adalah satu-satunya tokoh 'lurus' dengan kisah masa kecil jenaka yang barangkali dapat sedikit mencerahkan, tapi tak cukup banyak porsinya untuk mengimbangi kesuraman semua tokoh lain.

Emosi sepanjang membaca cerita ini datar saja, tak ada klimaks yang ditunggu, tak ada debar mengantar menuju akhir. Setelah berlapis-lapis mengikuti kisah hidup Nadira, ujung ceritanya ternyata tentang cinta yang terlambat disadari untuk atasannya di kantor, Utara Banyu. Namun apa daya, tarikan emosi dan fokus cerita kurang kuat untuk membuat pembaca bisa bersimpati pada pedih luka mereka.

Memang tak pada tempatnya berharap sentakan emosi berklimaks panjang pada sebuah buku kumpulan cerpen. Mungkin sebaiknya Leila menulis novel dengan ide cerita yang ada di dalam buku ini. Tapi bisa dibayangkan tentu membutuhkan kerja yang lebih berat untuk menata ulang dan memadukan kesembilan cerpen ini untuk menjadi sebuah novel yang memuaskan. Dan kita harus bisa memaklumi jika akhirnya Leila sekadar melakukan revisi pada beberapa cerpen lamanya, barangkali, agar kesinambungan antara kesembilannya bisa terjaga.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"