Exodus (Sebastiao Salgado)



Kata-kata lumpuh saat melihat foto-foto di dalam buku ini. Gambaran apa yang dialami orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka, entah karena perang, kelaparan, atau bencana alam, begitu keras menyentak. Foto-foto yang langsung menyentuh emosi, dan pada beberapa potret yang secara dekat menyoroti gurat wajah, mata kita pun basah.

Buku ini pertama kali terbit 16 tahun lalu dengan judul Migration, diterbitkan ulang oleh Tashcen Maret tahun lalu. Untuk mengerjakan buku ini, Sebastian Salgado, fotografer Brazilia yang hari ini berulang tahun ke-73, menghabiskan waktu enam tahun mengunjungi lebih dari 35 negara, demi mendokumentasikan kesusahan, kepedihan dan pergerakan massal orang-orang yang terusir di muka bumi ini.

Dari ekonom beralih menjadi fotografer, Sebastiao Salgado ingin memperlihatkan apa yang ada di balik angka-angka statistik melalui foto-fotonya. Secara konsisten dia merekam efek industrialisasi dan globalisme pada orang-orang dalam masyarakat yang terpinggirkan. Bagaimana gerak roda ekonomi, yang sangat dia pahami dari masa-masanya berkarier di dunia perbankan, sesungguhnya melaju dalam jalur yang penuh ketimpangan.

Pada berbagai wawancara dan ceramahnya, kata kunci yang kerap digunakan Salgado adalah tanggung jawab dan harapan. Melalui fotonya dia ingin mengajak orang untuk ikut merasa bertanggung jawab atas kondisi buruk yang dilihatnya lalu melibatkan diri dalam gerakan bersama untuk memperbaiki keadaan, entah dengan sekadar bertanya, berdialog, berdebat, atau lewat aksi nyata. Fotonya ingin menyadarkan kita bahwa jalan yang kita ambil saat ini adalah jalan yang salah. Pretensi globalisasi bahwa tidak ada jalan alternatif itu adalah kebohongan.

Dalam sebuah wawancara di UC Berkeley, Salgado ditanya apakah foto-fotonya bisa memberi solusi atas masalah-masalah yang telah dipotretnya. Dengan tegas Salgado menjawab, justru itulah yang ditanyakan oleh foto-fotonya.  Salgado merasa situasi kian memburuk dalam 16 tahun sejak buku ini pertama kali terbit, tapi harapan menuju keadaan yang lebih baik senantiasa ada.

“Harapan saya, kita sebagai individu, kelompok, masyarakat, dapat berhenti sejenak dan berkaca pada kondisi manusia di titik pergantian milenium ini. Ideologi dominan abad kedua puluh—komunisme dan kapitalisme—telah melemahkan kita. Globalisasi ditampilkan kepada kita sebagai realitas, bukan solusi. Bahkan kebebasan semata tak bisa menjawab persoalan kita tanpa disertai oleh tanggung jawab, keteraturan, kesadaran. Pada dasarnya, individualisme tetap merupakan resep bagi bencana. Kita harus menciptakan cara baru untuk hidup dalam kebersamaan.” 

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya