Lawatan ke Ciptagelar





Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi adalah salah satu masyarakat adat dengan tradisi yang sangat erat terkait dengan padi. Di Kasepuhan yang telah berusia sekitar enam ratus tahun ini, sepanjang tahun ada   kurang lebih 58 ritual, sebagian besar terkait kegiatan menanam, memanen, mencicipi, mengolah padi.

Budaya padi begitu luhur sehingga ada pantangan tidak boleh memperjual-belikannya. Semua hasil panen sawah milik warga disimpan di lumbung-lumbung sekitar tempat tinggal mereka. Kasepuhan Ciptagelar dengan demikian mampu berswasembada dan memiliki cadangan beras hingga puluhan tahun ke depan.

Saya berkesempatan mengunjungi kesepuhan pimpinan Abah Ugi ini pada 11-13  Agustus 2017. Bersama tim penyelenggara opentrip dari Lokali, saya datang pada masa yang kebetulan bertepatan dengan pelaksanaan salah satu kegiatan tahunan, yakni Ponggokan atau Serah Jiwa. Kegiatan ini semacam sensus penduduk untuk mendata jumlah seluruh keluarga, harta, padi, mesin yang ada di seantero kasepuhan dan kampung-kampung pengikutnya.

Sensus ini diadakan sebagai persiapan bagi kegiatan akbar Seren Taun atau Tutup Tahun yang akan diselenggarakan pada September. Melalui pendataan ini, warga dapat menentukan besar  urunan yang diperlukan untuk menanggung bersama biaya kegiatan akbar Seren Tahun. Dalam rangka Ponggokan, ketika kurang lebih 500-an perwakilan kampung berkumpul, Kasepuhan mengadakan kenduri pada diawali dengan menumbuk padi pada hari minggu pagi, dilanjutkan dengan jamuan nasi kabuli khas mereka pada siang harinya.





Kehidupan di desa  memiliki tatanan sosial yang sangat terjaga kuat. Ada pembagian kerja turun temurun yang sudah jelas sepanjang generasi. Setiap orang sejak awal sudah tahu posisi dan tanggung jawabnya dalam masyarakat, apakah sebagai penjaga hutan, penjaga air, petani, peternak, pedagang, seniman, pemain musik, pemasak nasi, pendidik, penggembala, pengrajin. Fungsi itu diturunkan dalam keluarga. Kesejahteraan warga terjamin, karena hasil dari sawah warga disimpan untuk dimanfaatkan bersama. Pemerataan sangat terasa, tidak ada perbedaan yang terlalu besar di antara keluarga-keluarga yang hidup di sana.

Dalam perjalanan pergi-pulang Palabuhan Ratu-Ciptagelar, Kang Jemi, salah seorang pemuda warga yang menyupiri Avanza offroader untuk kami, menceritakan sesalnya betapa hutan-hutan di Gunung Halimun semakin lama semakin gundul, pohon-pohon ditebangi, lahan-lahan dialihfungsikan menjadi kebun atau dibiarkan kosong setelah kayu pohon diambil. Semua berlangsung dengan sangat cepat. Truk-truk setiap malam keluar masuk hutan membawa kayu gelondongan. Enam bulan yang lalu, ini masih hutan lebat, katanya. Sekarang tinggal tunggul-tunggul bekas tebangan yang tampak menyedihkan.

Kasepuhan Ciptagelar beradaptasi dengan perkembangan teknologi secara mandiri. Mereka memiliki stasiun televisi sendiri, mengembangkan intranet untuk jaringan komputer di dalam desa, namun dalam pengolahan pertanian tetap melestarikan cara-cara manual tradisional seperti menumbuk padi menggunakan lisung dan alu, membajak dengan kerbau, dan membawa hasil panen sawah harus dengan berjalan kaki puluhan kilometer.

Bagi saya yang baru pertama mengunjungi kasepuhan, lawatan  singkat yang sangat berkesan dan membukakan mata tentang akar tradisi leluhur orang Sunda. Kini saya bisa berempati lebih baik pada perjuangan masyarakat adat mempertahankan tanahnya dari sergapan berbagai rencana pembangunan pemerintah. Semoga mereka dapat terus bertahan menghidupkan tradisi dan menjaga alam dengan cara yang telah teruji dan bertahan ratusan tahun.





Para perwakilan dari kampung-kampung yang tergabung dalam Kasepuhan Ciptagelar mulai
berkumpul di Imah Gede dalam rangka Ponggokan

Membawa pocong padi ke lisung untuk acara Ponggokan

Mempersiapkan hidangan kebuli untuk perayaan Ponggokan. 


Menumbuk, menapis, memisahkan sekam dari beras

Kegiatan di lisung hanya boleh diikuti oleh kaum perempuan

My travel mates :) 



Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya