Berjalan di Hutan



Pikiran kita sering terpaku pada apa-apa yang mengganggu. Bergumul dengan khawatir dan prasangka. Tenggelam dalam lorong gelap pikiran kita. Hilang kontak dengan sisi diri kita yang lebih terang.

Saat berjalan di dalam hutan, kita terpukau melihat indahnya cahaya di antara pepohonan; sinar matahari lembut tersaring oleh dahan dan dedaunan. Kita mulai memperhatikan detail: monyet-monyet bergantungan di batang pohon, burung berlompatan di dahan. Kita mulai melihat bentuk dan warna daun yang berbeda, ada yang runcing, bulat, lebar, sempit, hijau gelap atau agak merah. Kita jeda sejenak untuk melihat tanaman yang merambat di tanah—menyingkirkan dahan-dahan patah, buah-buah pinus, dan tumpukan daun kering, menemukan kumbang, cacing, ulat dan siput.

Saat kita mulai menaruh perhatian, alam seperti tersibak di hadapan kita. Lihat, seekor semut sedang memulai petualangan meniti ranting; putik di sebatang pohon sedang melalui proses menjadi bunga; seekor kupu-kupu sedang mengembangkan sayapnya untuk pertama kali; seekor cacing dengan lamban merentangkan badan di permukaan batu; seekor ulat sedang dalam perjalanan menuju makan siangnya di tepi seberang sehelai daun; seekor laba-laba sedang sibuk menyempurnakan sarangnya. Kita terbawa ke luar dari diri kita sendiri: kita terserap merenungkan alam yang rimbun.

Di depan ada jalan sempit berkelok di antara pepohonan. Kita tak bisa melihat lebih jauh daripada beberapa langkah ke depan. Kita tak pernah bisa menebak apa yang menanti di depan: mungkin kita akan tiba di lapangan terbuka atau akan bertemu monyet yang tengah melompat bersembunyi ke dalam semak-semak.

Di tengah itu semua, dalam pikiran kita kembali muncul rasa ingin tahu yang terpendam. Bagaimana kabar ibu yang sudah lama tidak ditelepon? Apa kabarnya keponakan yang baru melahirkan? Apa ya judul novel yang direkomendasikan teman di kantor kemarin? Nanti malam mau coba masak nasi kebuli, ah. Kayaknya tidak terlalu rumit..

Bukannya masalah kita tidak penting, hanya sangat mendominasi pikiran kita dengan cara yang tidak membantu. Kepekaan kita pada kehidupan, tentang siapa diri kita, jadi mengerut. Dengan menjadi tertarik pada sesuatu yang lain di alam terbuka, kita membebaskan diri dari keasyikan pada masalah kita sendiri—meski hanya untuk sejenak.

Ragam kehidupan yang kita temui di dalam hutan membuat kita untuk sementara berhenti memperhatikan hal lainnya. Insting mengamati kita jadi diperbarui. Kita akan kembali memasuki dunia urban dengan kepekaan yang berbeda. Kita jadi memperhatikan keramaian di warung sebelah; pada beragamnya kepribadian di sekeliling meja saat makan siang; pada detail arsitektur unik gedung di seberang jalan; pada keragaman dan kerumitan yang selama ini mungkin lupa untuk kita apresiasi.[]

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"