Postingan

Buku Lama

Gambar
Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta Apa yang akan kita lakukan dengan buku yang sudah dibaca? Pertanyaan itu menggelayuti saya dalam beberapa hari belakangan ketika mulai membereskan dan memilih koleksi buku yang akan saya bawa pulang ke Indonesia. Buku-buku itu seperti meninggalkan jejak sendiri. Setiap bertemu lagi dengan sebuah buku, saya jadi teringat apa yang paling mengesankan saya ketika membacanya, emosi apa yang pernah terbangkitkan dan peristiwa apa yang terjadi dalam masa saya membaca buku itu. Seperti melihat sebuah foto lama, saya diajak kembali masuk ke suasana yang terekam di sana, tapi lebih dari sekadar gambar dalam foto, memori itu membuat saya memetik lagi kalimat-kalimat indah dan kebijakan yang pernah menyentuh saya lewat pembacaannya. Lantas apa yang sebaiknya saya lakukan dengan buku-buku itu? Sebagai sebuah benda bervolume besar, buku secara fisik menimbulkan persoalan sendiri untuk dibawa ke mana-mana. Butuh biaya, tempat dan tenaga. Saya tidak tega untu

Menuai Apa yang Ditanam

Orang menuai apa yang dia tanam. Saya sering terpikirkan peribahasa itu belakangan ini. Saya melihat contohnya pada diri Mas Hernowo yang sekarang seperti sedang memetik apa yang dia tanam tujuh tahun yang lalu: virus menulis dan membaca. Benih itu menyebar ke lingkungan sekitarnya, lingkungan kerja, sekolah dan keluarganya, tapi tentunya paling kuat tertanam dalam dirinya.  Sekarang, hasilnya sudah terlihat. Mas Hernowo telah menghasilkan tujuh buku dalam kurun tiga tahun belakangan. Bulan ini beliau memulai sebuah kursus pelatihan menulis kilat, dan sepanjang waktu tujuh tahun itu dia berubah menjadi seorang pembicara publik untuk soal motivasi menulis.  Saya jadi bertanya pada diri saya apa yang saya tanam sekarang? Apa yang ingin saya tuai dalam tahun-tahun mendatang? Saat ini, yang paling saya anggap penting adalah menjalankan peran sebagai ibu.  Saya barusan memesan buku The Joyful Mother of Children dan Teaching Your Children Values , keduanya dari Linda Eyre. Saya ingin menjadi

i-Rambling

Pada suatu siang yang terik, saya memperhatikan seorang nenek tua berbelanja di sebuah supermarket. Nenek itu sangat bungkuk, jalannya pelan, tanpa tongkat, langkah terseret. Kelihatan sekali betapa susahnya dia membuat satu langkah ke depan, mengerakkan kakinya bergantian untuk menaiki tangga dan menyusuri lorong-lorong tempat belanja, sambil membawa keranjang belanjaan yang berat. Pertanyaan yang langsung terlintas dalam pikiran saya adalah tidak adakah anggota keluarga lain yang bisa membantunya. Mengapa keluarganya membiarkan dia hidup sendirian? Sejak punya anak sendiri, dalam pikiran saya senantiasa muncul pertanyaan tentang keluarga ketika melihat seorang anak muda. Di dalam bis, kereta, di jalan-jalan, melihat aneka perilaku manusia, saya bertanya bagaimana mereka di tengah keluarganya, keluarga bagaimana yang telah menghasilkan seseorang seperti itu, entah perilakunya baik atau serampangan. Melihat seseorang selalu saya kaitkan dengan keluarga tempat dia berasal. Dengan menges

What makes you change?

We are generally the better persuaded by the reasons we discover ourselves than by those given to us by others. -- Blaise Pascal

i-Quote

Ujian satu-satunya bagi keabsahan sebuah ide religius, pernyataan doktrinal, pengalaman spiritual atau praktik peribadatan adalah bahwa ia harus langsung menggiring ke arah tindakan belas kasih. Jika permahaman Anda tentang yang ilahi membuat Anda lebih ramah, lebih empatik, dan mendorong Anda untuk menunjukkan simpati dalam tindakan nyata, itulah teologi yang baik. Tapi jika pemahaman Anda tentang Tuhan membuat Anda tidak ramah, pemarah, kejam atau merasa benar sendiri atau jika itu menggiring Anda untuk membunuh atas nama Tuhan, itu adalah teologi yang buruk. -- Spiral Staircase (Karen Armstrong)

Izu

Hari ini saya sendirian di rumah. Hanifa dan ayahnya ikut perjalanan wisata ke Izu dengan bus bersama kelompok pelajar asing di Todai. Sejak beberapa hari lalu Hanifa sudah dipersiapkan untuk perjalanan ini. Dia tahu dia pergi hanya dengan ayahnya, akan menginap satu malam di sana dan saya tidak akan ikut. Ketika akan berangkat tadi Hanifa berpesan bahwa saya tidak akan sendirian di rumah karena bisa bermain bersama boneka-bonekanya dan ada "Tomi." Melihat fotonya di dinding saya tiba-tiba disergap kangen. Tidak ada suara ributnya, celotehannya mengomentari segala yang saya lakukan, berbicara dengan boneka dan derap kakinya yang berlari ke sana kemari. Hari ini Hanifa berulang tahun ketiga. Tiga tahun menjadi orangtua bagi satu anak ini merupakan pengalaman paling penting dalam hidup saya sejauh ini. Saya makin melesak masuk ke dalam peran itu. Saya ingin menjalankannya dengan sebaik yang saya bisa. Makin hari saya makin ingin tahu tentang perkembangan seorang anak, bagaimana